Welcome to Abu Darin's Blog. Assalamu Alaikum Warahmatullohi Wabarokatuh.

Blog ini adalah blog tentang Pendidikan, dimana anda bisa Belajar
Tentang Bahasa Inggris dan Juga Tentang Agama Islam, Saya Juga menyediakan Daftar Link sebagai Referensi Untuk di buka/kunjungi dan di pelajari.Selamat Belajar.

Upaya penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari ajaran Islam, baik dalam hal Aqidah, Ahkam (hukum) maupun Akhlaq, selayaknya terus dilakukan, agar Islam kembali bersih berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Sallam dan diajarkan pada Sahabatnya, yang diteruskan oleh pengikutnya hingga hari kiamat.

Kamis, 13 Mei 2010

HARAMNYA ISBAL WALAUPUN TAMPA KESOMBONGAN

Haramnya Isbal Walaupun Tanpa Kesombongan
Posted by Admin under Fiqih | Tag: isbal |
1 Comment

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin

[http://ashthy.wordpress.com/2007/05/15/pakaian-seorang-muslim/]

Wahai kaum muslimin. Dan termasuk pakaian yang haram, yang khusus diharamkan atas laki-laki yaitu berpakaian yang melampaui mata kaki baik celana, baju atau misdah atau selainnya. Karena sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

“Sarung yang lebih rendah dari mata kaki tempatnya dineraka” (HR. Al Bukhari)

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan sarung kecuali yang dimaksud adalah pakaian.

Maka tidak halal bagi laki-laki menurunkan pakaiannya sedikit dibawah mata kaki karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengancamnya dengan neraka. Dan tidak ada ancaman neraka kecuali atas perbuatan haram bahkan tidak ada ancaman dengan neraka kecuali atas macam dosa besar. Sebagian orang menyangka bahwa hadits ini mengenai orang yang menurunkan pakaiannya dengan ‘Huyala’ Dan huyala adalah bila seseorang menghayalkan dirinya berada dikedudukan tinggi, merasa angkuh dan ujub. Aku katakan: sebagian orang menyangka bahwa hadits ini tentang yang menurunkan pakaiannya karena huyala. Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Dan barangsiapa yang menurunkan pakaiannya karena huyala, Allah tidak akan memandangnya”

Maka penyangka ini ingin membawa yang hukumnya mutlak itu (umum) atas yang hukumnya terikat ini (khusus) akan tetapi ini tidaklah benar.
Pertama: Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memisahkan antara keduanya. Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu’anhu katanya: Aku mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Kain seorang muslim adalah pertengahan betis, tidak mengapa bila diantara pertengahannya dengan mata kaki dan yang dibawah mata kaki maka dia dineraka. Dan barangsiapa yang menjururkannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya dihari kiamat” (HR. Malik, Abu Dawud, An Nasaa’i dengan sanad yang shahih)

Dihadits ini Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam membagi pakaian menjadi empat macam.

Pertama, sampai tengah betis dan ini pakaiannya seorang mu’min.

Kedua boleh, yaitu yang diantara tengah betis dengan mata kaki maka ini boleh, dan ini termasuk amalan sahabat radhiyallahu’anhum. Sebagaimana Abu Bakr radhiyallahu’anhu berkata: “Salah satu ujung pakaianku tergerai sehingga senantiasa kujaga.” Ini menunjukkan bahwa sarung Abu Bakr dibawah tengah betis yakni turun dari itu, kalau seandainya tidak sepeti itu kalau sampai menyentuh tanah tentu akan terbuka auratnya dan ini hal yang mustahil.

Adapun bagian yang ketiga, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Dan yang lebih rendah dari itu yaitu dari mata kaki, maka dia dineraka.”

Adapun bagian yang keempat Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam bersabda: “Dan barangsiapa yang menjulurkan kainnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya dihari kiamat.”

Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membedakan antara dua bagian ini -bagian ketiga dan keempat- membedakan antara keduanya dengan dua ancaman.

Kedua: Ancaman pada dua hadits ini berbeda dan sebabnya berbeda, ancaman bagi yang menjulurkan kainnya dengan huyala (sombong) yakni Allah tidak akan melihat padanya dan ancaman bagi yang menurunkan sarungnya melampaui mata kaki yakni dimasukkan ke neraka. Dan siksaan ini merupakan juz’iyah, bagian dan siksaan yang pertama Allah tidak akan melihat padanya dan ini lebih besar dari siksa bagian tubuhnya dengan neraka adapun sebabnya berbeda juga yang satu menurunkannya dibawah mata kaki, yang kedua menjulurkannya dengan sombong dan ini lebih besar, oleh karena itu siksaannya lebih besar. Ulama ushul Fiqih mengatakan jika berbeda sebab dan hukum pada dua dalil maka yang satu tidak dibawa kepada pengertian lainnya.

Dan atas ini tidak halal bagi laki-laki menurunkan pakaiannya sedikit dibawah mata kaki baik berupa celana atua baju atau misdah (jas) atau selainnya. Jika dia lakukan maka balasannya bagian yang turun itu diadzab dengan neraka dan tidak halal menjulurkannya sedikit dengan sombong, jika ia lakukan maka balasannya yakni Allah tidak mau melihatnya di hari kiamat. Juga di shahih Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Tiga golongan, Allah tidak mengajak mereka bicara pada hari kiamat dan tidak mau Dia lihat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Tiga golongan, Allah tidak mengajak mereka bicara pada hari kiamat dan tidak mau Dia lihat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Tiga golongan, Allah tidak mengajak mereka bicara pada hari kiamat dan tidak mau Dia lihat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih.” Beliau shallallahu’alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali.

Saking besar urusannya dan agar berhati-hati orang yang mendengarnya maka Abu Dzar berkata:

“Sungguh kecewa dan rugi mereka itu. Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ‘Musbil’ (orang yang menjulurkan kainnya sampai dibawah mata kaki), ‘Al Mannan’ (Orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya) dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu.”

Seorang pemuda Anshar masuk menemui ‘Umar radhiyallahu’anhu memujinya dihadapan manusia pada hari ketika beliau radhiyallahu’anhu ditusuk, ketika pemuda itu berpaling tiba-tiba sarungnya menyentuh tanah, kemudian beliau berkata: Panggil kembali pemuda itu, maka mereka memanggilnya kembali kepada ‘Umar. Kata beliau: “Wahai anak saudaraku, naikkan pakaianmu karena itu akan membuat pakaianmu lebih awet dan lebih bertaqwa kepada Rabbmu.”

Disini beliau menyebutkan dua faedah agung didalammengangkat pakaian.
Pertama: Awetnya pakaian karena bagian bawahnya tidak mengenai tanah.
Kedua: Taqwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan pakaian taqwa itu jauh lebih baik.

Orang dengan anggapannya terkadang berkata, saya tidak peduli bagian bawah pakaianku mengenai tanah. Maka jawabannya kita katakan: Bila kamu tak peduli hal itu, apakah juga tak peduli jika kamu menyepelekan taqwa kepada Allah. Kamu gunakan nikmat-Nya untuk memaksiati-Nya. Maka nikmat berubah menjadi siksa dan kesenangan menjadi kepedihan.

Wahai kaum muslimin. Bertaqwalah kepada Allah, dan gunakan nikmat-Nya untuk ketaatan pada-Nya, jaga peraturan-Nya, tegakkan kewajiban-kewajiban yang diberikan-Nya dan ibadahilah Dia dengan sebenar-benar peribadahan. Dan ketahuilah bahwa kalian akan menemui-Nya. Beri kabar gembira kaum mu’minin. Demikian perkataanku dan aku mohon ampunan untukku dan untuk kalian serta seluruh kaum muslimin dari dosa-dosa. Dan minta ampunlah kepada-Nya sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Segala puji hanya milik Allah, pujian yang banyak, baik dan berbarokah didalamnya. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan hanya Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Persaksian yang kami mengharapkan dengannya kebahagiaan dihari perjumpaan-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya semoga shalawat Allah terlimpahkan atasnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan benar serta salam yang melimpah.
Kemudian dari pada itu.

Wahai saudara-saudara yang mulia. Apa yang tersirat pada pakaian-pakaian jadi, yang sampai kepada kita dari negeri-negeri kafir ini, merupakan ungkapan-ungkapan yang amat buruk, aku tidak sanggup merangkumnya diatas mimbar ini. [Terkadang pula] ditulis dengan huruf-huruf latin agar orang tertipu olehnya sampai tidak dipahami kebanyakan mereka yang wajib bagi kita adalah memboikot pakaian-pakaian ini dan menjauhkannya. Karena apa yang dibawa oleh ungkapan-ungkapan buruk ini berupa perusakan akhlak terkadang juga membawa maslahah yang berkaitan dengan aqidah, terkadang pula ada padanya pujian untuk agama nasrani, semoga Allah memerangi mereka, maka bagaimanakah mereka bisa berpaling. Adapun kaum muslimin, segala puji milik Allah dalam keadaan bangkit mereka memiliki pemuda-pemuda yang tergugah untuk masalah-masalah ini, mereka mengetahuinya dan mengetahui pula makar orang kafir, semoga Allah menjadikan makar mereka (orang kafir) bumerang atas mereka, mencerai-beraikan persekutuan mereka dan memecah belah persatuan mereka.

Ya Allah kami memohon kepada-Mu dengan daya dan kekuatan-Mu wahai Rabb semesta alam. Agar Engkau memecah belah persatuan orang-orang kafir dan engkau cerai beraikan persekutuan mereka dan engkau matikan mereka dan engkau timpakan rasa gentar kepada mereka dan engkau tegakkan daulah atas mereka wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah tolonglah kaum muslimin atas mereka disemua tempat. Ya Allah persiapkanlah para penolong agamamu dari kalangan kaum muslimin. Ya Allah hinakanlah musuh-musuh kaum muslimin. Ya Allah jadikanlah tipudaya mereka sebagai bumerang atas mereka.

Ya Allah sesungguhnya mereka sedang membuat tipu daya, maka kami mohon kepadaMu ya Allah agar Engkau membuat tipudaya lebih besar dari tipu daya mereka dan Engkau binasakan mereka dan Engkau jadikan malapetaka sesama mereka wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah turunkanlah dinegeri-negeri mereka bencana dan rasa takut, rasa lapar dan gentar hingga mereka berpulang kepada Allah ‘azza wa jalla. Sampai mereka sadar bahwa dunia mereka tidak akan mengekalkan mereka dalam keadaan beriman dan mengambil pelajaran wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah kami pasrahkan kepada-Mu leher-leher mereka dan kami berlindung dari keburukan mereka. Ya Allah sucikanlah negeri kami dari mereka dan dari tipu daya mereka dan dari kumpulan mereka wahai Rabb semesta alam.

Ketahuilah wahai kaum muslimin. Bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik jalan hidup adalah jalan hidup Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam urusan agama) dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

Maka wajib bagi kalian wahai kaum muslimin untuk berjamaah (bersatu), Jama’ah adalah persatuan diatas kebenaran, atas kalian untuk bersatu diatas al Haq (kebenaran), jadilah hamba-hamba Allah yang menolong karena agama Allah, jadilah kalian bersaudara karena agama Allah, janganlah sebagian kalian mencela sebagian yang lain, janganlah sebagian kalian mengadu domba sebagian yang lain, jadilah saudara yang berkumpul karena Allah, bersaudara karena-Nya, mengharap dengan kasih sayang dan persaudaraan ini karunia dari Allah ‘azza wa jalla, mengharap dengannya pertolongan atas musuh-musuh kalian karena Allah berfirman didalam kitab-Nya:

“Dan janganlah kalian saling berbantah-bantahan sehingga kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar (Al Anfaal : 46)

Atas untuk kalian berjama’ah karena tangan Allah itu diatas jama’ah dan barangsiapa menyendiri akan menyendiri di neraka. Dan ketahuilah bahwa Allah memerintahkan kalian dengan perintah yang Dia memulainya dengan diri-Nya sendiri. Berfirman Dzat yang semulya-mulia pembicara lagi Maha Mengetahui:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Semoga Allah menjadikan kalian orang-orang yang mendengar dan taat. Ya Allah berikanlah shalawat dan salam kepada hamba dan utusan-Mu Muhammad. Ya Allah karuniailah kami kecintaan kepadanya, mengikutinya lahir dan batin. Ya Allah wafatkanlah kami diatas agamanya. Ya Allah gabungkanlah kami didalam kelompoknya. Ya Allah beri kami minum dari air telaganya (kautsar). Ya Allah masukkanlah kami kedalam syafa’atnya. Ya Allah kumpulkanlah kami bersamanya disurga Na’im bersama orang-orang yang kau beri nikmat, bari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin. Ya Allah jangan Kau halangi kami dari itu semua karena buruknya amalan kami. Bermurah hatilah pada kami dan ampunilah dosa-dosa kami wahai dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, wahai Dzat yang Maha Pengampun, wahai Dzat yang Maha Penyayang.

Ya Allah ridhailah para penggantinya yang terbimbing (Khulafaur Rasyidin), dan istri-istri beliau, ibu-ibunya kaum Mu’minin dan para sahabat seluruhnya serta para pengikut mereka dengan benar sampai hari pembalasan.

Ya Allah ridhailah kami bersama mereka dan perbaiki keadaan kami sebagaimana engkau telah memperbaiki keadaan mereka wahai Rabb semesta alam. Ya Allah tolonglah kaum muslimin yang berjuang di jalanmu di seluruh tempat. Ya Allah bersamalah mereka dan jangan murka atas mereka. Ya Allah muliakanlah mereka dengan agama-Mu dan muliakanlah agama-Mu dengan mereka wahai Rabb semesta alam

Ya Allah sempurnakanlah untuk saudara-saudara kami di Afganistan. Wahai Allah sempurnakanlah pertolongnmu untuk mereka, persatukanlah hati-hati mereka, gabungkanlah kalimat mereka di atas Al Haq (kebenaran). Lindungilah mereka dari musuh-musuh mereka wahai Rabb semesta alam.

Ya Allah Rabb kami berikanlah kami kebaikan didunia dan diakhirat dan selamatkan kami dari adzab api neraka.

Hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil, kebaikan dan memberi kepada karib kerabat dan mencegah dari kekejian, kemungkaran dan aniaya. Menasehati kalian agar kalian senantiasa mengingat, tunaikanlah janji Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah setelah pengukuhannya padahal kalian telah menjadikan Allah sebagai jaminannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan. Ingatlah Allah yang Maha Agung niscaya Dia akan mengingatmu dan bersyukurlah atas nikmat-nikmat-Nya niscaya Dia akan menambah untuk kalian. Sungguh mengingat Allah itu besar dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.

[ Ditranskrip dari kaset cd khutbah Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia, diterbitkan oleh Tasjilat Al ‘Ilmi Yogyakarta, dengan beberapa pengeditan oleh Ahmad]

Satu Tanggapan to “Haramnya Isbal Walaupun Tanpa Kesombongan”

1.
abuwildan aljakarty Berkata:

4 September 2009 at 6:38 am

Bismillaahirrohmaanirrohiem
Alhamdulillah, atas kemudahan dari Alloh Azza wajalla ana dapat meninggalkan larangan isbal ini, yang tidak pernah sedikitpun dibahas di dalam halaqoh ketika ana terperosok di lembah hitam manhaj takfiri (NII) beberapa tahun lalu..bahkan beberapa dari mereka mencibir sunnah yang mulia ini lantaran dangkalnya ilmu agama pada kebanyakan mereka, semoga Alloh mudahkan kaum muslimin untuk ikhlas dan sabar menjalani syariatNYA, meskipun benci orang-orang yang menutup diri dari AL-HAQ..
Wallohul musta’aan…

Rabu, 12 Mei 2010

PERSELISIHAN UMATKU ADALAH RAHMAT ...... INI HADIST DHOIF ATAU PALSU...YAAA...???

PERSELISIHAN UMATKU ADALAH RAHMAT : Mereka tak sadar –bahwa dengan sikap seperti itu- justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini

Posted by dr.Abu Hana :: أبو هـنـأ ألفردان :: in Wahabi (الوهابي). Tagged: hadits ikhtilaf, HADITS PERSELISIHAN, ikhtilaf itu rahmat, perpecahan rahmat, perselisihan adalah rahmat, perselisihan umat. Leave a Comment
Kedudukan dan Penjelasan Hadits “Perselisihan Umatku adalah Rahmat

Penulis Al Ustadz Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy
إختلاف أمتي رحمة

Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan : “Perselisihan itu adalah rahmat, jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi”, atau “Kita saling tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi pada hal-hal yang kita perselisihkan” pun turut menghiasi, seakan menyetujui perselisihan yang kian larut ini.

Sekilas slogan-slogan tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih “… walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin.” Walhasil ketika bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.

Mereka tak sadar –bahwa dengan sikap seperti itu- justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.
Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah rahmat” dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.

Bahkan diantara mereka terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin memenangkan pendapat yang dipeganginya.

Semisal dalam hal pemilihan madzhab diantara imam yang empat. Baik dalam perkara aqidah, fiqih maupun muamalah. Sebagai contoh : “Si A tidak mau sholat di masjid yang berbeda madzhab” atau “si B tidak mau bermakmum di belakang si C karena madzhabnya berbeda”. Dan contoh-contoh lain yang telah melanda kehidupan umat Islam. Lalu apakah perselisihan yang demikian ini dikatakan sebagai “rahmat”?

Perkataan Ulama tentang Hadits ini
Al-Hadits merupakan sumber rujukan utama umat Islam setelah Al-Qur’an. Kedudukan Al-Hadits sedemikian penting, maka mengetahui keshohihan (kebenaran)nya adalah suatu konsekwensi logis. Namun dalam menentukan suatu hadits itu shohih atau tidak, bukanlah hal sepele. Oleh karena itu kita dilarang untuk sembarangan menukil hadits, jika belum pasti keshohihannya.

Ahlul Hadits adalah para ulama yang mereka memahami ilmu-ilmu seputar permasalahan hadits. Baik dari segi matan/redaksi hadits maupun sanad (deretan/rangkaian para perawi hadits yang bersambung sampai kepada Rasulullah). Ahlul Hadits berupaya keras untuk mengumpulkan, meneliti dan memisahkan hadits yang shohih dari yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Berikut penulis nukilkan perkataan Ahlul Hadits tentang sebuah hadits masyhur : “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”.

Asy Syeikh Al Muhadits Nashiruddin Al Albani rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah mengenai “hadits” ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”. Para muhadits sudah berupaya keras untuk mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau (Al Albani) berkata : “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shohih, dho’if, atau maudlu’.

Syaikh Zakariya Al Anshori menyetujuinya dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92 Qaaf (masih dalam manuskrif).

Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti hadits. Al ‘Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz 5/hal 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan rusak yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau mengatakan : “batil dan dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57 hal 141)

Dalam kitab Zajrul Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun hal 32, yang ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah (diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al Fauzan. Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan. Tidak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.
Adapun yang masyhur adalah hadits “Perselisihan para shahabatku adalah rahmat”. Dan sebagian dari ulama ahli ushul menyebutkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Ibnul Hajib di dalam Mukhtashornya tentang ushul fiqih.

Berkata Abu Muhammad ibnu Hazm : “Adapun hadits yang telah disebutkan “Perselisihan umatku adalah rahmat” adalah kebatilan dan kedustaan yang bermuara dari orang yang fasik.” (Al Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/61)
Al Qoshimy mengomentari (sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut Ta’wil 4/928 : “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.

Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah :
1. Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya.
2. Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara-perkara yang palsu termasuk “hadits” ini.
3. Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.

Berkata sebagian ulama : “Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat dan hadits, seperti firman Allah Ta’ala : “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang yang dirahmati Robbmu” dan sabda Rasulullah “Janganlah kalian berselisih, maka akan berselisih hati-hati kalian” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan dikeluarkan di dalam Sunan Abu Daud oleh Asy Syeikh Al Albani) dan hadits-hadits yang lain banyak sekali. Maka kesimpulannya bahwa kesepakatan (di atas kebenaran) itu lebih baik daripada perselisihan.
Penutup

Setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan hari Akhir, niscaya akan menyatakan bahwa dirinya cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun cinta tidaklah cukup di lisan saja. Bahkan harus diwujudkan dalam amal perbuatan. Salah satu bukti cinta kita kepada Beliau adalah tidak lancang/berani dalam menukil suatu ucapan, lalu mengatasnamakan Rasulullah. Hendaklah takut akan ancaman Beliau : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka”. (HR.Bukhori)

Alhamdulillah dari penjelasan Ahlul Hadits di atas, dapat diketahui bahwa hadits “Perselisihan umatku adalah rahmat” ternyata bukan merupakan sabda Rasulullah. Atau disebut juga hadits maudhu’. Padahal hadits ini sangat tenar dan menyebar bahkan menjadi pegangan para aktivis dakwah. Namun sebagai seorang muslim yang mau menerima kebenaran, tentulah akan bersegera meninggalkan hadits ini, sebagai salah satu wujud cinta dia kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Allah berfirman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imron : 103)

Al Hafidz Ibnu Katsir rohimahullah berkata : “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul (di atas kebenaran).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/367)

Sesungguhnya tidak terdapat satu dalilpun dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa perselisihan itu adalah rahmat. Maka sikap menyetujui perselisihan dan menganggapnya sebagai rahmat, justru menyelisihi nash-nash mulia, yang jelas-jelas mencela terjadinya perselisihan. Adapun yang ridho dengan perselisihan tersebut, tidaklah mereka memiliki sandaran dalil melainkan berpegang pada “hadits” yang maudhu’ ini. Wallahul muwafiq ila sabilish showab.

(Sumber : Buletin Jum’at Al Jihad, diterbitkan Yayasan As Salaf Samarinda. Telpon (0541) 7010648. Penulis Al Ustadz Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy. Judul asli “Kedudukan dan Penjelasan Hadits “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”. )

SUMBER URL : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=113

BENARKAH SALAFI TERLALU “KERAS” DAN “SUKA MEMFITNAH” SEHINGGA MEMBUAT UMMAT LARI ? :

BENARKAH SALAFI TERLALU “KERAS” DAN “SUKA MEMFITNAH” SEHINGGA MEMBUAT UMMAT LARI ? : Janganlah Menyikapi Sesuatu dengan Mengutamakan Perasaan Diatas Dalil Syar’i..!

Posted by dr.Abu Hana :: أبو هـنـأ ألفردان :: in Wahabi (الوهابي). Leave a Comment
17. Benarkah Salafi Terlalu Keras dan Membuat Umat Lari?

Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi


Pertanyaan:

Kader-kader dan pengurus Wahdah Islamiyah mengatakan bahwa Salafi terlalu keras sehingga dapat membuat umat lari. Benarkah hal tersebut? Bagaimana seharusnya supaya umat mau menerima dakwah terutama orang awam?

Jawaban:

Pertama:

Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka adalah orang yang paling tahu meletakkan kapan saatnya tegas dan kapan saatnya berlemah lembut. Asalnya dalam dakwah adalah dengan lemah lembut, Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An Nahl: 125)

Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman kepada Nabi-Nya,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari kamu.” (QS Âli ‘Imrân: 159)

Dan dalam hadits ‘A’isyah radhiyallâhu ‘anhau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu berada pada sesuatu apapun kecuali akan menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.”

Ini asalnya dalam dakwah. Tetapi kadang seseorang itu harus diberi pelajaran dengan sifat yang tegas sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam ketika melihat para sahabat berwudhu’ dan mereka tidak mencuci kaki-kaki mereka, beliau berteriak dengan suara yang tinggi dan keras, kata beliau,

وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ ثَلاَثَ مَرَّات

“Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka,” beliau ucapkan tiga kali.

Maka asalnya dalam dakwah adalah dengan lemah-lembut dan kadang jika dibutuhkan bisa bersikap tegas. Tabiat manusia ada yang tidak bisa mendapat nasihat kecuali dengan lemah-lembut dan ada yang bisa mendapatkan nasihat kalau ditegasi. Maka ini perlu pertimbangan yang tepat.

Kedua:

Nasihat kepada orang itu maksudnya dua perkara: pertama, nasihat bagi diri orang yang dinasihati—misalnya Wahdah Islamiyah kita nasihati tentang kesalahannya—maka ini adalah nasihat untuk mereka supaya mengubah dirinya. Kedua, nasihat yang kembali kepada umat. Umat ternasihati agar jangan ikut kepada mereka.

Ketiga:

Yang perlu diperhatikan dalam masalah dakwah, bahwa memang tidak semua perkara yang kita ketahui itu harus diucapkan. Ada kalanya dalam posisi fitnah, itu tidak diucapkan. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu ketika sedang terjadi fitnah besar dalam pemerintahan yang banyak membunuhi kaum muslimin, beliau banyak mengetahui hadits-hadits tentang akan adanya nanti kemungkaran-kemungkaran yang akan diperbuat oleh para penguasa tetapi Abu Hurairah tidak menyampaikan hadits-hadits itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu berkata,

حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُوْمُ

“Saya menghafal dari Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam dua kantung. Adapun salah satunya saya telah sebarkan dan adapun yang lainnya kalau saya sebarkan maka akan dipenggal leher saya ini.”

Karena itulah Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu hanya memberikan ibarat-ibarat tersembunyi, misalnya beliau mengatakan bahwa ia berta’awwudz (berlindung) dari pemerintahan anak kecil—dan ini menyinggung pemerintahannya Yazid bin Mu’awiyah—tidak ditashrih oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Sikap ini ada contohnya dari Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam, dalam hadits ‘A’isyah radhiyallâhu ‘anha yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, dan Imam Al Bukhari memberikan judul “Bab Meninggalkan Sebagian Perkara karena Takut Sebagian Manusia akan Terfitnah” kemudian beliau membawakan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam kepada ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha:

يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنَ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُوْنَ

“Wahai ‘Aisyah andaikata kaummu (penduduk Makkah) bukan orang yang baru (meninggalkan) kekufuran, niscaya saya merobohkan Ka’bah kemudian saya akan menjadikannya dua pintu; pintu tempat manusia masuk dan pintu mereka keluar.”

Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam ingin meruntuhkan Ka’bah kemudian menjadikannya dua pintu sunnah merupakan sunnah. Tetapi mengapa beliau tinggalkan? Sebabnya, karena khawatir terjadi fitnah—orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah tatkala melihat Nabi berbuat seperti itu maka akan menyangka bahwa Nabi adalah orang yang sombong dan ingin menang sendiri saja—akibatnya mungkin saja mereka banyak yang akan lari keluar dari Islam. Karena itulah ditinggalkan di zaman Nabi hingga masuk ke zaman ‘Abdullah bin Zubair, baru beliau menerapkan apa yang diucapkan oleh Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam. Maka, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang paling mengetahui tentang penempatan hikmah dalam dakwah.

Dan memang ahlul bid’ah ini tatkala dikritik oleh Ahlus Sunnah, dijelaskan kesesatannya dan dinasihati umat agar jangan sampai terjatuh ke situ, mereka mengatakan bahwa hal ini membuat lari manusia, terlalu keras, dan seterusnya, karena yang dipakai adalah perasaan. Karena itulah kadang kita temukan di jama’ah-jama’ah yang banyak mengikutinya itu adalah akhowat (kalangan perempuan). Sebabnya memang banyak memakai perasaan. Perhatikan saja Wahdah Islamiyah, itu yang kebanyakan mengikutinya adalah akhowat sebab banyak memakai perasaan dan manhaj mereka adalah manhaj yang dibangun di atas perasaan, wallâhul musta’ân.

Jadi, itu tadi gambaran singkat tentang manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah tegas dan lemah lembut. Tentunya penerapannya memerlukan hikmah dakwah dan melihat contoh-contoh para ulama dalam menerapkannya. Semakin mapan ilmu seseorang maka ia akan semakin mampu menggunakan di dalam dakwah ini. Karena itulah yang kita sarankan untuk terus-menerus giat dalam menuntut ilmu.

SUMBER : http://nasihatuntukwahdah.wordpress.com/2010/01/17/17-benarkah-salafi-terlalu-keras-dan-membuat-umat-lari/

Apa itu Wahabi apa itu Salafy ..?

KEGAGALAN DALAM MEMBEDAKAN : Wahabi-Salafy, Osama Bin Laden, Sufi-Thaliban dan Pengikut Sayyid Qutb

Penulis Haneef James Oliver


Osama bin Laden “Wahhabi”?

Pada tanggal 30 September 2001, seorang analis Timur Tengah dari kantor berita BBC, Roger Hardy, menulis satu artikel yang berjudul “Di Dalam Islam ‘Wahhabi’.” Hardy sendiri menulis bahwa istilah “Wahhabi” seringkali disalahgunakan untuk tujuan menghina.

“Istilah ‘Wahhabi’ seringkali digunakan secara bebas. Media Rusia, sebagai contoh, menggunakan istilah tersebut untuk mencela aktivis Islam di Asia Tengah dan Kaukasus sebagaimana mereka mencela muslim di negara mereka, namun media Barat menggunakan istilah yang samar dan bersifat menghina, yaitu ‘Islam Fundamental’.”

Akan Tetapi, amat disayangkan, Hardy terjatuh pada kesalahan yang sama dalam menggunakan istilah ini ketika ia menyatakan bahwa Osama bin Laden adalah seorang “Wahhabi.”

“Osama bin Laden, divonis secara resmi oleh Amerika Serikat sebagai tersangka utama di balik serangan 11 September terhadap Amerika, dia adalah seorang kelahiran Saudi dan Seorang ‘Wahhabi’.”

Kesalahan tersebut adalah persangkaannya bahwa karena Osama dilahirkan di Arab Saudi, maka ia seorang “Wahhabi.” Padahal, ini adalah kesimpulan dangkal yang telah seringkali disebutkan di media—dan layak untuk dibantah.
Hubungan Bin Laden dengan Sufi

Osama bin Laden datang dari satu keluarga Yaman di Hadramaut, sebuah daerah pantai di Yaman yang sudah diketahui secara umum sebagai basis satu kelompok sempalan dalam Islam yang dikenal dengan sebutan Sufi.[1] Secara ringkas, ajaran sufi bisa disebut sebagai lawan yang pas untuk “Wahhabi.”

Bin Laden sendiri tidak terlalu peduli dengan keyakinan yang berbeda. Beberapa pernyataannya menunjukkan bahwa ia masih melakukan praktek-praktek ajaran Sufi tertentu. Dia pun menjadikan Taliban sebagai teman dekat dan pelindungnya. Telah diketahui secara umum bahwa mayoritas dari kelompok ini adalah penganut tarekat Sufi Deobandi.

Bagaimana pun, ada kontradiksi antara anggapan bahwa Osama bin Laden adalah pelaku praktek-praktek Sufi dan pengakuannya bahwa dia bukanlah seorang Sufi. Terlepas dari itu semua, Bin Laden memperlihatkan bahwa dia tidak terlalu peduli dengan permasalahan keyakinan dan ibadah—yang orang-orang “Wahhabi” sangat menaruh perhatian dalam hal ini. Hal tersebut karena kelompok Osama bin Laden tidak membedakan antar keyakinan, selama mereka berada di barisan yang sama.

Kesalahan penggunaan istilah lainnya yang seringkali diulang di kebanyakan media adalah pendapat bahwa Taliban adalah “Wahhabi.” Pada tanggal 10 Desember 2001, Ron Kampeas menulis di Washington Post, “‘Wahhabi’ adalah satu keyakinan puritan yang menolak perubahan, salah satu bentuk Islam yang menyetir Taliban.”

Faktanya, ini adalah ketidakakuratan yang sangat besar dan mengindikasikan bahwa mereka yang mengulang-ulang klaim seperti ini telah melakukan pendekatan kepada sesuatu yang kompleks dengan cara sederhana.

Meskipun dalam artikel Roger Hardy dari BBC terdapat kesalahan pada pernyataan yang menyatakan bahwa Osama adalah seorang “Wahhabi,” dia tidak seperti Kampeas—yang tetap mengulang-ulang kesalahan ini—saat mengalamatkan (Taliban) kepada tarekat Sufi Deobandi.

“Tapi Taliban bukanlah ‘Wahhabi.’ Mereka diketahui sebagai tarekat Deobandi; dinamakan sebagai Deobandi sebagai nisbat kepada suatu kota kecil, Deoband, Himalaya, India. Di sinilah gerakan tersebut didirikan, pada tahun 1860-an di masa pendudukan Inggris.”

Pada 9 November, Hamid Mir dari harian Pakistan, The Dawn, mewawancarai Osama bin Laden, sesaat setelah Kabul jatuh.

Hamid Mir : “Setelah pengeboman Amerika ke Afghanistan pada 7 Oktober, anda mengatakan kepada TV Al-Jazeera bahwa serangan 11 September dilakukan oleh sebagian muslim. Bagaimana anda mengetahui bahwa mereka adalah muslim?”

Bin Laden: “Amerika sendirilah yang menyebarkan daftar tersangka 11 September. Mereka mengatakan bahwa nama-nama mereka terlibat dalam serangan tersebut. Mereka semua adalah muslim. 15 di antara mereka diketahui berasal dari Arab Saudi, 2 dari Uni Emirat Arab (UEA) dan 1 dari Mesir. Berdasarkan informasi yang penulis miliki, mereka semua adalah penumpang. Al-Fatihah telah dibacakan untuk mereka di rumah-rumah mereka. Namun Amerika mengatakan bahwa mereka adalah pembajak.”

Maksud pernyataan bin Laden “Al-Fatihah telah dibacakan untuk mereka di rumah-rumah mereka” adalah pembacaan surat pembuka dalam Al-Qur’an untuk jiwa-jiwa yang telah meninggal—praktek yang umum dilakukan oleh kaum Sufi. Perbuatan yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam Islam, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah atau pun contoh perbuatan dari generasi pertama Islam. Atau lebih tepatnya, ini adalah praktek bid’ah yang dibuat-buat oleh orang-orang Sufi.

Pernyatan tersebut mengindikasikan bahwa Osama bin Laden tidak memiliki pengetahuan tentang Islam. Jika demikian, bagaimana bisa ia diidentikkan dengan prinsip dan praktek-praktek “Wahhabi”?


Bin Laden Adalah Seorang Quthbi[2]

Berkat kemakmuran yang dihasilkan oleh perusahaan Bin Laden,[3] Osama bin Laden menggunakan uang keluarganya untuk hidup bebas dengan gaya hidup yang serba luks. Karena hal ini, dia tidak pernah duduk dengan ulama “Wahhabi,” sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu atau tekun dalam mempelajari akidah Islam.

Ketidaktahuannya terus berlanjut, bahkan, setelah menjadi seorang yang religius dan berangkat ke Afghanistan—bertempur dengan Uni Soviet. Kenyataan bahwa ia gagal dalam mengambil manfaat dari belajar di bawah pengawasan para ulama di Arab Saudi membuatnya mencampuradukkan pemikiran Quthbi baru yang sedang naik daun.

Pada akhirnya, dia benar-benar menolak metode “Wahhabi” dan mengeluarkan orang banyak dari lingkaran Islam. Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa Osama bin Laden adalah seorang “Wahhabi”?

Pada akhirnya, Osama bin Laden dan Al-Qaeda-nya bukanlah “Wahhabi,” tetapi Quthbi.

Melihat urgensi hal ini, Robert Worth dari New York Times mengatakan, “Tapi jika ada satu orang yang layak disebut sebagai bapak intelektual Osama bin Laden dan teman-teman terorisnya, mungkin ia adalah seorang penulis dan aktivis Mesir: Sayyid Quthub.”[4]
Keberadaan Quthbiyah Sebagai Ideologi

Dalam sebuah artikel yang berjudul “Terror, Islam and Democracy,” Ladan dan Roya Boroumand menyatakan dengan tepat bahwa “kebanyakan kader muda Islam hari ini adalah intelektual dan pewaris spiritual dari Quthbiyah, salah satu sayap dari gerakan Ikhwanul Muslimin.”

Mereka berdua juga menyatakan,

“Saat rezim otoriter dari Presiden Gamal Abdul Nasser menekan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1954 (yang pada akhirnya berakhir dengan penggantungan Sayyid Quthub pada 1966), banyak dari mereka yang mengasingkan diri ke Aljazair, Arab Saudi, Irak, Suriah dan Maroko. Dari sana, mereka menyebarkan pemahaman revolusi Islam—termasuk alat-alat pengorganisasian dan ideologi yang dipinjam dari pemahaman totaliter Eropa.”[5]

Mengomentari hubungan yang berkembang antara ideologi revolusi Eropa dengan doktrin Quthbiyah, John Gray dari The Independent berargumen dalam sebuah artikel berjudul “How Marx Turned Muslim” bahwa Quthbiyah bukanlah berasal dari tradisi Islam, tapi jauh lebih berakar di dalam sumber pemikiran Eropa.

Dia menjelaskan bahwa Sayyid Quthub “Menyatukan banyak unsur yang diambil dari ideologi yang berasal dari Barat[6] ke dalam pemikirannya.” Quthbiyah juga dapat dilihat sebagai “campuran eksotis, hasil kawin silang, dalam pertemuan antara ideologi radikal Eropa dengan intelektualitas Islam.”[7]

Gray menjelaskan bahwa Quthbiyah adalah gerakan revolusioner modern dan tidak merepresentasikan bentuk asli dari Islam yang sebenarnya.

“Inspirasi dari pemikiran Quthbi tidak banyak yang berasal dari Al-Qur’an, tapi cenderung kepada pemikiran Barat yang berasal para pemikir mereka seperti Nietzsche,[8] Kierkegaard[9] dan Heidegger[10]. Pemikiran Quthbiyah—yang merupakan bingkai pemikiran untuk pengembangan politik dan teologi Islam radikal—adalah respon terhadap pengalaman Eropa pada abad ke-20 berupa ‘the death of God‘[11] yang merupakan sesuatu yang besar dalam tradisi Islam.[12] Quthbiyah sama sekali tidak tradisional. Seperti semua ideologi fundamentalis,[13] ini tidak salah lagi sangatlah modern.”[14]

Berbicara tentang hubungan yang tidak terbantahkan lagi dan betul-betul ada antara Bin Laden dengan Quthbiyah, Amir Taheri dari Arab News mengatakan, “Pada saat ini, Maududiyah-Quthbiyah[15] menyediakan sebuah ideologi yang Bin Laden bisa tumbuh di dalamnya.” [16]

Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, ulama salaf yang diketahui telah menulis beberapa buku bantahan terhadap kesalahan-kesalahan Sayyid Quthub, menyimpulkan tentang Quthbiyah sebagai berikut.

“Quthbi adalah para pengikut Sayyid Quthub. Segala yang kalian lihat berupa kesengsaraan, pertumpahan darah dan masalah-masalah yang terjadi pada dunia Islam hari ini adalah berasal dari metode (orang ini).”[17]
Sebuah Kegagalan dalam Membedakan

Pada tanggal 26 Oktober 2001, The Guardian mencetak sebuah laporan berjudul “Salafee Views Unite Terror Suspects: The Binding Tie” yang dibuat oleh John Hooper dan Brian Whitaker. Mereka mengklaim, “Beragam kelompok teroris yang melancarkan serangan 11 September 2001 terlihat menganut dasar pondasi yang sama dengan Salafi dalam menginterpretasikan Islam.”

Dengan kelicikan untuk mencoba menghubungkan antara metodologi Al-Qaeda dengan “Wahhabi,” mereka melaporkan sebuah laporan yang menyesatkan sebagai berikut,

“Para penyelidik yang memburu jaringan Osama Bin Laden telah menemukan bahwa seluruh tersangka teroris yang ditangkap di Eropa dalam 10 bulan terakhir mengikuti kelompok Salafi dalam menafsirkan Islam.”

Selanjutnya, mereka menghubung-hubungkan interpretasi Islam seperti ini dengan keyakinan yang dihasilkan dari wilayah Arab Saudi dan institusi-institusi pendidikannya.[18]

“Hubungan antara Salafi dengan jaringan teroris Bin Laden akan amat sangat mempermalukan Arab Saudi, sedangkan keluarga Kerajaan Arab Saudi telah menginvestasikan jumlah yang tidak sedikit untuk menyebarkan manhaj salaf. Pusat untuk pendidikan dan pengekspor pemikiran Salafi adalah Universitas Islam Madinah, Arab Saudi, yang didirikan oleh rajanya pada 1961 ‘untuk menyampaikan pesan abadi Islam ke seluruh dunia’.”

Jika saja John Hopper dan Briant Whitaker meneliti asal mula dari ideologi Al-Qaeda—seperti diungkapkan sebelum ini—yang dibentuk atas dasar tulisan tangan Sayyid Quthub—seorang warga Mesir dan bukan Arab Saudi, maka pembaca mereka akan mendapat manfaat yang berlipat-lipat.

Jika saja mereka meneliti subjek ini dengan hati-hati, mereka akan mengetahui bahwa apa yang diajarkan secara resmi di Universitas Islam Madinah adalah analisis mendalam tentang kekeliruan sistem kepercayaan Khawarij. Para pelajar di Universitas Islam Madinah belajar dari pengajar-pengajar yang telah disebutkan sebelumnya, (seperti) Syaikh Muhammad bin Hadi’ Al-Madkhali.

Jadi, jelas, permasalahan ideologi teroris kontemporer bukan berasal dari keyakinan Salafi, baik mereka itu berasal dari Arab Saudi atau pun bukan, baik dari dunia muslim itukah atau bukan. Media dan para pemikir Barat telah gagal untuk membedakan antara Islam yang murni, Ahlus-Sunnah, dengan gerakan revolusioner abad ke-20: Quthbiyah—yang itu adalah metode Khawarij yang dibangkitkan kembali.

Akan menjadi lebih akurat, bagi Hooper dan Whitaker, bila mengatakan bahwa semua gerakan Islam pada hari ini, yang keras atau pun tidak, bersumber dari Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi dan Sayyid Quthub. Tidak ada dari orang-orang ini yang merupakan ulama Islam, tapi, mereka adalah orang yang pada masa kini diistilahkan sebagai “pemikir Islam.” Selain itu, Hasan Al-Banna[19] dan Sayyid Quthub adalah penganut ajaran Sufi, bukan ajaran Salaf.

Singkatnya, Osama bin Laden dan Al-Qaedanya memiliki lebih banyak ikatan emosional dengan para orientalis dan media, ketimbang kepada kambing hitam media: Salafi. Meskipun para Quthbi yang datang dari semenanjung Arab masih bertahan dengan pengakuan bahwa mereka itu Salafi atau mengutip salah satu isi perkataan ulama Ahlus-Sunnah, Salafi, sumber penyimpangan mereka tetap berasal dari keyakinan Khawarij, Mu’tazilah dan Sufi dari negeri-negeri muslim melalui orang-orang seperti Sayyid Quthub. Kelompok Salafi berlepas diri dari orang-orang seperti Sayyid Quthub dan Osama bin Laden.

وَمِنَ الإِبْلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الأُنثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الأُنثَيَيْنِ أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ وَصَّاكُمُ اللّهُ بِهَـذَا فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-An’am [6]:144).

SUMBER : Naskah pracetak Buku VIRUS WAHABI (Mitos Negatif Bagi Salafi) , Penerbit Too Bagus Publishing Bandung, 2010 untuk http://kaahil.wordpress.com
[1] Ajaran sufi tidak dikenal pada masa Rasulullahn dan para sahabatnya. Tidak pula diketahui pada masa tiga generasi awal umat Islam. Sufi pertama kali muncul di Bashrah, Irak, saat semua orang berlebihan dalam beribadah dan menghindari kehidupan dunia—sesuatu yang telah diperingatkan dalam Al-Qur’an,

“Dan mereka mengada-adakan kehidupan rahib, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka.” (Q.S. Al-Hadiid [57] : 27).

Sufi adalah salah satu madzhab yang terpengaruh oleh pemikiran yang percaya bahwa ilmu dan keselamatan dibawa oleh jiwa melalui pelatihan spiritual. Ahlus Sunnah percaya bahwa ilmu yang benar dan keselamatan bisa dicapai melalui ibadah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para Sufi percaya bahwa syaikh mereka juga dapat dijadikan rujukan dalam masalah ibadah. Mereka akan memerintahkan untuk melakukan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Orang yang ekstrem di kalangan mereka seringkali mengaku-aku bahwa Allah berada di dalam salah satu ciptaanNya (seperti dalam hati manusia). Secara terus-menerus, mereka menganggap atribut dan kekuatan yang ada pada syaikh Sufi mereka adalah milik Allah, seperti kekuatan untuk melihat yang gaib. Mereka seringkali mengaku bahwa dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah makna kulit, makna lahir, sama baiknya dengan makna yang lebih dalam, makna batin. Mereka yang memegang makna kulit, makna lahir, adalah mereka yang diketahui mempraktekkan Islam Ahlus Sunnah. Makna mendalam, makna batin, dari Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya diketahui oleh mereka. Syaikh-syaikh ini seringkali mengaku, karena mereka telah memahami makna dalam dan makna batin, maka mereka tidak perlu lagi untuk shalat, puasa, atau apa pun—yang bahkan Rasulullahn tidak mendapat keringanan dalam hal-hal semisal itu.

[2] Quthbi adalah mereka yang mengikuti dan menganut pemikiran Sayyid Quthub, seorang dai modern berpemikiran revolusioner. Ideologi mereka diistilahkan dengan Quthbiyah.

[3] Adalah Muhammad bin Awad bin Laden, pendiri Saudi Bin Laden Group. Pada tahun 1931, ia mendirikan perusahaan konstruksi untuk kepentingan pembangunan jalan-jalan di beberapa kota di Kerajaan Arab Saudi. Bermula dari pembangunan jalan-jalan itu, perusahaan ini terus merambah ke berbagai hal di bidang konstruksi bangunan, sampai kemudian publik mengenalnya sebagai satu perusahaan favorit sang raja Saudi; Muhammad bin Laden menjadi kontraktor favorit raja Abdul Aziz bin Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi modern. Salah satu proyek prestisius perusahaan Bin Laden ini adalah renovasi Masjid Al-Harom pada tahun-tahun 70-an, abad 20 kemarin. (Ed.)

[4] Robert Worth, “The deep intellectual roots of Islamic Terror,” The New York Times, 13 Oktober, 2001.

[5] Ladan dan Loya Boroumand, “Terror, Islam and Democracy,” The Journal of Democracy, April 2002.

Catatan: Sejak Ladan dan Laya Boroumand menghubungkan Quthbiyah dengan Totaliterisme Eropa dengan benar, maka dapat kita katakan bahwa tidak benar orang-orang tersebut (baca: Quthbi) disebut sebagai Islamis. Bahkan, lebih tepat untuk menjuluki mereka sebagai aktivis muslim. Meskipun mereka itu muslim, ideologi revolusioner mereka tidak dapat disandarkan kepada Islam.

[6] Berkaitan dengan pengaruh Eropa terhadap para pengikut Quthub, Robert Worth dari The New York Times mencatat bahwa ini “sebagaimana Fathi Yakan, salah satu murid Quthub, yang pada tahun 1960 menulis, ‘Peletak dasar revolusi Perancis diletakkan oleh Rousseau, Voltaire dan Montesquieu. Rencana revolusi komunis terwujud berkat Marx, Engels dan Lenin. Begitu juga pada kita’.” Robert Worth, “The Deep Intellectual Roots of Islamic Terror,” The New York Times, 13 Oktober 2001.

[7] Pemikir-pemikir revolusioner seperti Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub, Hasan Turabi dari Sudan dan pemikir berkebangsaan Iran, Ali Syariati, dari sisi pemikiran, terpengaruh Barat setelah mereka menetap di sana. Meskipun mereka menolak gaya hidup barat dan menyangkalnya, mereka juga terpengaruh oleh hal itu, lalu memformulasikan ideologi reformasi radikal. Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak tahu soal Islam dan akidahnya, kemudian mereka membuat pemikiran dan analisis politik sebagai dasar akidah mereka sendiri serta “mengislamkannya.”

[8] Friedrich Nietzsche—seperti yang dikenal banyak orang—adalah salah seorang pemikir Jerman yang paling berpengaruh terhadap pemikir-pemikir Eropa pada abad ke-19. Lahir pada tahun 1844, ia tumbuh di bawah asuhan ibunya. Dengan keadaan seperti itu, ia kemudian belajar di Universitas Bonn dan Universitas Leipzig, di Jerman sekarang. Sekitar dekade 80-an, abad 19, ia banyak menelurkan karya-karya tulis. Salah satu karyanya yang banyak diterbitkan dan dibaca orang adalah Also Sprach Zarathustra. Memperhatikan dan menyikapi rasionalitas orang-orang di Eropa dan kaitan dengan agama mereka pada waktu itu, ia adalah orang yang pernah menyimpulkan ke publik luas, “Tuhan telah mati.” Dalam karyanya yang lain, Anti-Christ, nyata sekali kebenciannya terhadap agama Kristen. Pada tahun 1889, akhirnya, ia menjadi gila. Meskipun gila, lewat buku-buku yang ditulisnya, ia turut mempengaruhi Adolf Hitler sampai mendorongnya melakukan pemusnahan massal orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II. Pada tahun 1900, dalam usia yang tergolong muda, ia meninggal dunia. (Ed.)

[9] Lahir pada tanggal 5 Mei tahun 1813, ia dikenal publik dengan nama Sǿren Kierkegaard. Ia adalah seorang pemikir Denmark yang religius dan banyak mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh filsafat Eropa. Banyak berkarya—sekitar 20 buku lebih dalam 14 tahun, ia menerbitkan karya-karyanya tersebut dengan nama samaran (pseudonyms). Kini, banyak kalangan yang mencoba (dan memang) mengaitkan filsafat eksistensialisme dengan pemikiran filsafatnya. Pada tahun 1855, dalam usia yang sangat muda, ia meninggal dunia. (Ed.)

[10] Lahir pada tahun 1889, Martin Heidegger dikenal sebagai seorang pemikir Jerman yang berpengaruh pada abad ke-20 kemarin. Ia belajar di Universitas Freiburg dan diangkat menjadi asisten Edmund Husserl—bapak aliran filsafat fenomenologi. Heidegger sendiri mulai mengajar di universitas pada tahun 1915. Kemudian, dari tahun 1923 sampai tahun 1928 ia pindah mengajar ke Universitas Marburg. Karena dukungannya terhadap Adolf Hitler dan partai Nazinya, ia dipecat dari aktifitas mengajar. Heidegger banyak berbicara tentang “ada.” Manusia, menurutnya, harus mengerti tentang “ada,” sebab ini penting. Karena itu, fokus pandangan filsafatnya adalah “ada” ini (Apa itu “ada”? Mengapa kita ada? Bagaimana cara kita untuk ber-ada?). Ia kemudian meninggal dunia pada tahun 1976. (Ed.)

[11] Bermula dari keinginan untuk memisahkan agama dan politik, kemudian beralih untuk memisahkan antara agama dan sains, orang-orang Eropa, pada abad ke-19 menyadari bahwa memang agama dan sains tidak akan bisa bersatu, tidak akan berjalan selaras. Mereka yang setuju akan pandangan ini menjadikan buku Charles Darwin (1809 – 1882), The Origin of Species by Means of Natural Selection, sebagai bukti telak dunia sains-ilmiah yang pertama akan anggapan ini. Karena itu, manusia, menurut mereka, harus memilih salah satu: agama atau rasionalitas sains. Orang-orang yang memilih rasio (akal), yang ternyata lebih banyak, meyakini bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibuktikan dengan akal; rasionalitas adalah “agama” itu sendiri. Lebih dari itu, mereka yakin bahwa hanya orang-orang dungu yang percaya kepada Tuhan. Mereka menolak Tuhan atau—dengan meminjam kata-kata Nietzsche—mereka telah membunuh Tuhan. “Kita telah membunuhNya,” tulis Nietzsche dalam bukunya, The Gay Science, “kau dan aku—kita semua pembunuhNya.” Ternyata, ketiadaan Tuhan tersebut, dan ini disadari oleh sebagian mereka, pada satu titik tertentu, membuat semacam lubang kosong di dalam diri-diri mereka, yang pada suatu waktu sebelum itu pernah diisi oleh Tuhan. (Ed.)

[12] Konsep yang menyatakan kematian Tuhan ini, baik itu secara tersurat atau pun tersirat, adalah sangat tidak mungkin. Allah l berfirman dalam Al-Qur’an,

“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup lagi tidak mati. Bertasbihlah dengan memuji-Nya. Cukuplah dia Maha mengetahui dosa-dosa hambaNya.” (Q.S Al- Furqaan [25] : 58).

[13] Akan terasa lebih tepat kalau Gray mengatakan, “Seperti semua ideologi ekstrimis, tidak salah lagi ini modern” daripada menggunakan kata yang bermakna ambigu “fundamentalis.”

[14] John Gray, “How Marx turned Muslim,” The Independent, 27 Juli, 2002.

[15] Taheri merujuk kepada hubungan antara Abul A’la Al-Maududi, “pemikir” muslim Asia Selatan, dengan Sayyid Quthub, yang sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan Al-Maududi. Berkenaan dengan hal ini, tentang Sayyid Quthub The Telegraph menyatakan, “Penulis dan Pemikir Mesir, mengambil ide Abul A’la Al-Maududi (1903 – 1979) yang menyatakan bahwa dunia muslim kini telah kembali kepada masa jahiliyah yang tidak bertuhan.” “A-Z of Islam,” The Telegraph, 15 November 2002.

[16] Amir Taheri, “Bin Laden no longer exist: Here is why,” The Arab News, 29 Agustus, 2002.

[17] Syaikh Rabi’ bin Hadi dalam “Imaam al-Albaanee dan Irjaa.” (sumber: 11 Januari 2002, Telelink dari Inggris, www.salafipublications.com (Article ID: MSC060014)).

[18] Dalam sebuah wawancara yang berjudul “Arab Saudi’s Wahhabis Are Not Spreading Intolerance,” The New Perspective Quarterly mewawancari Dr. Khaled M. Al-Ankary—menteri pendidikan tinggi Arab Saudi dan ketua dari Konferensi Islam untuk Pendidikan yang Lebih Tinggi. Ia ditanya, “Banyak kritik yang menyatakan bahwa sejak pembajak-pembajak pesawat dan pembom bunuh diri datang dari Arab Saudi, maka pasti ada sesuatu dalam sistem pendidikan dan pengajaran yang mendasari mereka menjadi teroris. Sebagai menteri yang bertanggung jawab atas pendidikan, bagaimana anda menanggapinya?”

Dr. Al-Ankary menjawab dengan mengatakan, “Apakah ada fakta statistik atau logis pada pendapat ini? Jika seandainya ya, maka sistem pendidikan di Amerika Serikat juga perlu untuk diperiksa karena kasus penembakan di Columbine atau bahkan di Waco, Texas. Jika seandainya ya, maka sistem di Kerajaan Inggris perlu untuk diubah karena IRA.”

Catatan: Maksud Al-Ankary, Al-Qaeda dan IRA sama-sama menjuluki diri mereka sendiri sebagai “pejuang kebebasan” yang bertempur atas dasar agama. Kedua kelompok ini jelas-jelas adalah organisasi teroris, namun tidak ada seorang pun yang berbicara untuk mengganti dasar dari sistem pendidikan di Irlandia atau mengubah agama, budaya dan masyarakat di sana.

“Arab Saudi Wahhabis Are Not Spreading Intolerance,” New Perspective Quarterly, Jilid 19 #2, Musim panas 2002.

[19] Hasan Al-Banna (1906 – 1949), seorang pemikir Sufi dan aktivis politik, adalah pendiri Ikhwanul-Muslimin. Dia mengaku sendiri bahwa ia meluangkan waktu untuk mengunjungi kuburan-kuburan dan tempat-tempat keramat dalam jangka waktu beberapa minggu sekali yang kebanyakan perbuatan syirik dilakukan di sana. Dalam bukunya, Mudhakkiratud-Da’wah, Al-Banna mengungkapkan daya tariknya kepada ajaran Sufi; bagaimana ia menyertai aliran Sufi Hasafiyyah dan bagaimana ia menyisihkan waktu yang banyak di tempat keramat di Damanhur. Hasan al-Banna, Mudhakiratud-Da’wah, hal. 24-30. Terjemah oleh: Salafi Publications.

Catatan: Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub dan semua pengikut mereka jelas bukan “Wahhabi.”

MENGAPA SALAFY SUKA MENYALAH-NYALAHKAN YANG LAIN..?

MENGAPA SALAFY SUKA MENYALAH-NYALAHKAN YANG LAIN..? : Bukankah kita masih sama-sama kaum muslimin yang bersaudara dan kita berkewajiban mempererat ukhuwah Islamiyah ??

Posted by dr.Abu Hana :: أبو هـنـأ ألفردان :: in Sunnah dan Bid'ah (السنة والبدعة). Tagged: cara menasehati, mengapa saling menyalahkan, MUSLIM BERSAUDARA, nasehat dan celaan, nasihat muslim, salafi nasehat, salafi suka menyalahkan, salafy, salafy menyalahkan, ukhuwah islam, ukhuwah islamiyah. 4 Comments
MEMPERERAT UKHUWAH DENGAN MENEBAR NASEHAT

Penulis Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Menjaga Ukhuwah dengan Saling Menjaga Harta, Nyawa, dan Kehormatan

Sebagian kaum muslimin bertanya: “Mengapa kita harus saling menyalahkan satu sama yang lainnya, bukankah kita masih sama-sama kaum muslimin yang bersaudara dan kita berkewajiban mempererat ukhuwah Islamiyah?”

Benar, kita adalah kaum muslimin yang memiliki ikatan ukhuwah. Untuk itu, maka kita tidak boleh saling mendhalimi antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ. (رواه مسلم)

Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري ومسلم)

Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan mendhaliminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat. (HR. Bukhari Muslim)

Allah سبحانه وتعالى juga berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. (الحجرات: 10)

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (al-Hujuraat: 10)

Oleh karena itu, untuk mempererat ukhuwah kita harus saling menjaga da-rah seorang muslim, harta dan kehormatan mereka.Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan 3 sebab, yaitu: murtad, orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah dan qishash (pembunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja harus dibunuh).

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ. (متفق عليه)

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada illah yang patut diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kecuali dengan tiga perkara: jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah pernah menikah dan orang yang memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama’ah (kaum muslimin).

Dengan demikian, darah seorang muslim tidak halal kecuali dengan 3 hal di atas, itupun yang berhak mengeksusinya adalah para penguasa, bukan oleh sembarang orang. Maka kami mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk meninggalkan budaya preman dalam menyelesaikan suatu perselisihan.

Akhir-akhir ini -akibat jelek dari euforia demokrasi- telah menjalar di masyarakat kaum muslimin upaya menyelesaikan pertikaian dan perbedaan (ikhtilaf) dengan pengerahan massa. Memprovokasi kelompoknya untuk menyerang pada kelompok lain yang dianggap berbeda, sehingga terjadilah bakar-membakar, serang-menyerang atau akhlaq barbarian lainnya yang menimbulkan korban harta dan nyawa.

Harta siapakah yang dirugikan dengan terbakarnya berbagai prasana seperti masjid-masjid, gedung-gedung, sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren atau kantor-kantor dakwah? Nyawa siapakah yang menjadi korban dengan sikap arogansi dan barbarian di atas? Tentu saja harta dan nyawa kaum muslimin.

Apa yang mereka pahami dari hadits-hadits di atas? Bukankah hadits tersebut menunjukkan tidak halalnya darah seorang muslim, tidak halalnya harta seorang muslim dan tidak halal mendhalimi seorang muslim?

Mempererat Ukhuwah dengan Nasihat

Menjaga ukhuwah islamiyah adalah dengan menjaga hal-hal tersebut di atas: saling menjaga harta, darah dan kehormatan mereka. Bukan dengan membuang perintah Allah untuk saling nasehat-nasehati. Tidak seperti yang mereka katakan tadi: “Jangan saling salah-menyalahkan, bukankah kita bersaudara”.

Kita katakan: justru karena kita bersaudara, kita harus saling mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seluruh kaum muslimin berharap jelasnya kebenaran dan kebatilan, sebagaimana dalam doa mereka di masjid-masjid:
أَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

Ya Allah perlihatkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami yang batil adalah batil dan bantulah kami untuk menjauhinya.

Maka tujuan dakwah ini adalah menjelaskan yang haq adalah hak dan yang batil adalah batil. Sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman:
لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ. (الأنفال: 8)

Agar Allah menetapkan yang hak adalah haq dan membatalkan yang batil walaupun orang-orang yang berdosa itu tidak menyukainya. (al-Anfaal: 8)

Oleh karena itu, mengingatkan yang lupa dan memperbaiki yang salah jika diiringi dengan bukti-bukti dan dalil-dalil secara ilmiyah, justru akan mempererat ukhuwah islamiyah. Karena sudah merupakan kodrat manusia untuk berbuat salah dan lupa. Untuk itu harus ada di tengah mereka saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. (العصر: 1-3)

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-’Ashr: 1-3)

Nasehat-menasehati tersebut harus dilatarbelakangi oleh rasa kasih sayang dan ukhuwah islamiyah. Kita tidak ingin melihat saudara kita terjatuh ke dalam kesalahan dan penyimpangan (kebid’ahan) yang pelakunya terancam dengan neraka. Maka -dalam rangka ukhuwah islamiyah- kita wajib mengingatkan kesalahan mereka dan menjelaskan penyimpangan dan kebid’ahan-kebid’ahan mereka dengan berharap semoga Allah menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan dan penyimpangan.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ . (البلد: 17)

Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al-Balad: 17)

Dalam rangka kasih sayang itulah, diperintahkannya amar ma’ruf nahi mungkar dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. (ال عمران: 104).

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran: 104)

Betapa banyaknya ayat Allah dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih memerintahkan kita untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, karena tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan (ma’shum) kecuali Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dan tidak ada satu kelompok pun yang selamat dari ancaman api neraka, kecuali “al-jama’ah” yakni Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para shahabatnya رضي الله عنهم (salafus shalih).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr رضي الله عنهما, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه الترمذي).

Sungguh akan datang pada umatku apa yang pernah terjadi pada Bani Israil seperti sandal dengan sandal, hingga kalau pun di kalangan mereka terjadi orang yang menzinai ibunya sendiri, maka di kalangan umat ini pun akan terjadi. Dan sesungguhnya bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya dalam neraka kecuai satu golongan. Para shahabat bertanya: “Siapakah golongan tersebut ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Apa yang aku dan para shahabatku telah jalani”. (HR. Tirmidzi; Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Jami’ Tirmidzi, hadits no. 2641)

Dengan demikian, maka tegur-menegur, nasehat-menasehati atau bahkan bantah-membantah antara satu kelompok dengan kelompok lainnya adalah wajar sebagai upaya menelusuri jalan kelompok yang selamat tersebut.

Kalau merasa apa yang dilakukannya adalah benar, sedangkan yang membantah itulah yang salah, maka bantahlah secara ilmiah pula dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan contoh-contoh dari salafus-shalih, para ulama dan lain-lain.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (النحل:125).

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(an-Nahl: 125)

Dengan budaya bantah-membantah secara ilmiah, masyarakat muslimin akan terbimbing dengan ilmu sehingga standar keilmuan mereka semakin tinggi. Sebaliknya jika kaum muslimin diajak oleh para tokohnya dan diprovokasi untuk saling menyerang dan merusak (secara fisik) terhadap kelompok lainnya yang masih muslimin dan masih shalat hanya dikarenakan beberapa perbedaan, maka yang terjadi adalah masyarakat terbiasa untuk taklid pada tokoh-tokohnya dan hilang suasana ilmiyah sama sekali.

Sedangkan budaya pengerahan massa yang lahir dari sistem politik demokrasi -yang notabene bukan dari ajaran Islam-, justru akan memecah-belah persatuan kaum muslimin dan merusak ukhuwah Islamiyah. Maka hadapilah kesalahan saudara-saudara kita itu dengan sikap yang baik, hingga ukhuwah akan tetap terjaga.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. (فصلت: 34).

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Fushshilat: 34)

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 101/Th. III 27 Rabi’ul Awal 1427 H/28 April 2006 M, judul asli Mempererat Ukhuwah dengan Menebar Nasihat, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu Abdirrahman Arief Subekti HP 081564690956. )

SUMBER : http://muhammad-assewed.blogspot.com/2008/03/mempererat-ukhuwah-menebar-nasehat.html

Kelirunya Keyakinan Tuhan Di Mana-Mana | Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat | Rumaysho.Com

Kelirunya Keyakinan Tuhan Di Mana-Mana | Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat | Rumaysho.Com

Hadiah di Hari Lahir (4), Menggundul Rambut Kepala Bayi pada Hari Ketujuh | Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat | Rumaysho.Com

Hadiah di Hari Lahir (4), Menggundul Rambut Kepala Bayi pada Hari Ketujuh | Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat | Rumaysho.Com

Minggu, 09 Mei 2010

Kumpulan Blog Muslim

#
Kumpulan Blog Muslim

* Abu Akid
* Abu Annisa
* Abu Aqil Al-Atsary
* Abu Fadhil Langsa Aceh
* Abu Harits Faisol Cirebon
* Abu Shofiyah Kuwait
* Ahlussunnah Wonosobo
* Al-Ustadz Abdul Mu’thi
* Al-Ustadz Abu Muawiyah
* Al-Ustadz Ibnu Sarijan Kuwait
* Al-Ustadz Muhammad Umar As-sewed
* Anak Muslim
* Antosalafy
* Assalafi
* Atsary
* Ats-tsurayya
* Belajar Al_Islam
* Blog FAKTA
* Blog Mungil Abu Hanif
* Blog Wira Mandiri
* Blog Penuturan Hati
* Dammaj Tercinta
* Darul Hadits Dammaj
* Fadhly MIPA UGM
* Ghuroba
* Info DAMMAJ YAMAN
* Ishaq Ambon
* Kajian Salaf
* Komunitas Anti Dukun (KAD)
* Kang Hanif
* Lukman Hakim
* Menikahlah
* Muhammad Fachrurrozi
* Muhammad Reza
* Najiyah
* PAKIS Bintaro
* Problem Muslimin
* Referensi Islam
* Salafy Pomalaa
* Salafy Pondok Gede
* Salafy Malaysia
* Sunny
* Tasjilat As Salafy
* Tentang Syiah
* Terapi Madu
* Web Komunitas Muslim
* Zapa Parfum

Kamis, 06 Mei 2010

INFO KELULUSAN MTs N T. GT 2010

Presentasi keberhasilan yg Lulus 42,21%.

Julah siswa MTs N yang Mengikuti Ujian Nasional 154 Siswa. Yang Lulus Hanya 66 siswa dan tidak Lulus 88 siswa.
RINCIAN :
Jumlah siswa yang harus Mengulang per mata pelajaran :

Bahasa Indonesia : 14 siswa
Bahasa Inggris : 75 Siswa
Matematika : 84 siswa
IPA : 54 siswa.

Siswa yang dinyatakan belum Lulus Harus mengulang mata pelajaran yang nilai Kurang dari 5,50 per mata pelajaran.

Jadwal Ujuian Nasional Mengulang : 17 s/d 20 Mei 2010 . Pukul 8.00 - 10.00


Sumber : Departemen Pendidikan Nasional.

Sabtu, 01 Mei 2010

PRINSIP DAKWAH SALAF

INILAH PRINSIP DAKWAH KAMI
Jum'at, 07-September-2007, Penulis: Al Ustadz Yuswaji Lc

1. Kembali kepada Al Qur'an dan As-Sunnah An-Nabawiyah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalih Radhiyallahu ‘Anhum sebagai pengamalan firman Allah 'Azza wajalla,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Qs. An-Nisaa: 115)

Dan juga sebagai implementasi dari firman Allah Ta'ala:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al Baqarah: 137)

2. Tashfiyah / mensucikan kehidupan kaum muslimin dari noda-noda kesyirikan dalam berbagai bentuknya, memperingatkan dari bid'ah yang mungkar dan pemikiran-pemikiran batil yang menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin, membersihkan sunnah nabi dari riwayat-riwayat dha'if dan palsu yang mengotori kemurnian islam dan menghambat kemajuan kaum muslimin demi menunaikan amanah ilmiyah seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المْبُطْلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجْاَهِلِيْنَ
“Agama ini dibawa pada setiap penerusnya oleh orang-oang adilnya, mereka melenyapkan penyimpangan orang-orang yang melampau batas dan tipu daya para pengekor kebatianl serta menghilangkan takwilnya orang-orang jahil”.



Juga sebagai realisasi firman Allah Ta'ala :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Qs. Al Maidah: 2)



3. Membina kaum muslimin di atas agama mereka yang haq, mengajak mereka untuk mengamalkan hukum-hukum agama islam dan berhias diri dengan keutamaan dan akhlak islam. Yang demikian akan memberikan jaminan untuk mendapatkan ridha Allah dan merealisasikan kebahagian dan keluhuran. Itu semua merupakan bentuk perwujudan sifat yang Allah sematkan terhadap kelompok yang selamat dari kerugian,

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan mereka saling mewasiatkan dengan kebenaran dan kesabaran”. (Qs. Al Ashar: 3)



Dan juga sebagai ketundukan terhadap perintah Allah Ta'ala,

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (Qs. Ali Imran: 79)



4. Menghidupkan metode ilmiyah yang islami dan benar dengan bimbingan Al Qur'an dan As-Sunnah di atas manhaj Salafush Shalih, dan melenyapkan kebekuan taqlid madzhab serta membuang fanatik hizbi (kelompok) yang membelenggu akal kebanyakan kaum muslimin. Serta mewujudkan ukhuwah islamiyah diatas akidah dan manhaj Ahlus Sunnah sebagai pelaksanaan terhadap firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا (آل عمران:103)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. (Qs. Ali Imran: 103)



Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

كُوْنوُاْ عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً
“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”.



5. Tidak memprovokasi kaum muslimin untuk melawan pemerintahnya meski mereka lalim, tidak melalui minbar-minbar khutbah atau pun melalui sarana-sarana lainnya, karena yang demikian menyelisihi sunnah Salafus Shalih, juga sebagai aplikasi dari sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِيْهِ عَلاَنِيَةً وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa maka janganlah menampakkannya terang-terangan di hadapan massa, namun gaetlah tangannya (yakni dengan empat mata / rahasia), jika dia mau mendengar maka itulah (yang diharapkan), jika tidak mau mendengarnya maka dia telah menunaikan kewajibannya”.

Inilah prinsip dakwah kita.


http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=1

DI AMBIL DARI : www.darussalaf.or.id. By Sukri.

Membongkar Kedok Jamaah Tabligh

Sabtu, 07 Agustus 2004 - 02:30:31, Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Kategori : Manhaji
Membongkar Kedok Jamaah Tabligh
[Print View] [kirim ke Teman]

Jamaah Tabligh tentu bukan nama yang asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai 'biang pemecah belah umat', membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.
Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; ”Mas, Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh.
Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.

Pendiri Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti.
Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).

Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh

Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19)
Merupakan suatu hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke makam Rasulullah  (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 3).

Markas Jamaah Tabligh

Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)
Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah  melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah . (Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12)

Asas dan Landasan Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:

Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4).
Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)
Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, hal. 46).

Sifat Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5- 6).

Sifat ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).

Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8)

Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)

Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata'ala
Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)
Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 6)

Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya

Jamaah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah1. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah adalah2:
1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
2. Sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib. (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
4. Keyakinan bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
7. Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 12).
8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).
10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).
11. Banyaknya cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.

Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh

1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku (Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka maka tidak boleh”.
2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen), dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.
4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.
5. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.
Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.